Sosok perempuan hebat yang terlahir dari keturunan kalangan terdidik, merupakan tirakat sang kakek yaitu Tjondronegoro yang telah membuka jalan pendidikan Eropa kepada putra-putranya diantaranya adalah ayah dari Kartini yaitu Raden Mas Ario Sosroningrat. Dari sang ayah ini silsilah Kartini bersambung dengan raja-raja Jawa (Hamengkubuwono VI). Namun, dalam surat-suratnya, Kartini tidak pernah menyebutkan garis keturunannya melainkan mengatakan bahwa silsilahnya itu sudah terlewatkan.
Apakah saya seorang anak raja? Bukan. Seperti kamu juga. Menurut garis keturunan ayah, raja terakhir dalam keluarga kami, sudah berlalu 25 keturunan. Tapi, ibu, masih bersaudara dekat dengan raja Madura. Moyangnya, raja yang bertahta dan neneknya ratu mahkota.
Kartini lahir pada 21 April 1879 M/ 28 Rabiul Akhir 1297 H di Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Kondisi keluarga yang berasal dari ayah keturunan bangsawan dan ibu dari kalangan rakyat biasa lalu memiliki ibu tiri dari kalangan bangsawan membuat Kartini mendapatkan kasih saying dan belaian dari beberapa orang. Ada yang mengatakan bahwa ia diasuh langsung oleh sang ibu namun ada juga yang mengatakan bahwa Kartini diasuh oleh ibu tirinya. Hal ini didasarkan bahwa Sosroningrat menjadi bupati setelah melakukan pernikahan dengan ibu tirinya yaitu RA Woerjan. Maka tersingkirkanlah ibu kandung dari hak mengasuh anak karena Kartini dianggap sebagai putri keturunan bangsawan. Ada pendapat yang diutarakan oleh Marie C. Van Zeggelen bahwa Kartini diasuh oleh embannya yaitu Rami.
Dalam hal berfikir dan berpendapat, Kartini lebih sealan dengan saudara laki-laki kandungnya yaitu RM Sosrokartono. Hal ini dikarenakan kecerdasan sang abang dari segi pendidikan maupun Bahasa asingasing, yang hampir menguasai 30 bahasa asing. Tidak jarang Kartini sering berdiskusi dengannya apalagi ketika Kartini menemukan kemusykilan setelah membaca buku-buku berbahas Belanda maka ia akan menanyakannya kepada sang abang.
Kartini adalah seorang wanita yang hidup ditengah hempitan dua zaman, yaitu zaman feodalisme yang dikuasai oleh kolonial Belanda dan tatanan baru yang pada waktu itu belum begitu pasti mampukah babak penjajahan baru akan masuk ke Indonesia yaitu imperialisme modern. Dua zaman yang menjadi babak baru bagi kehidupan Indonesia menjadikan keraguan dalam masyarakat secara spesifik yaitu perjuangan. Bagi seorang Kartini, tujuan adalah rakyat dan segala jalan yang mungkin menjadi keuntungan bagi rakyatnya adalah diberkahi. Menjadi seorang wanita pada masa itu membuat Kartini tidak memiliki cara lain selain melalui pendidikan. Ia tak memiliki massa yang mampu berjuang dengannya. Ia bukanlah seorang jendral perang yang mampu menginstruksikan ribuan pejuang untuk melakukan gerakan baru.
Pada masa itu ia hanya dianggap sebagai wanita lemah yang setara dengan wanita kerajaan yang lain, diperlakukan khusus karena memiliki garis keturunan yang mulia dan dikekang atas nama menjaga nama baik keluarga.
Kartini merupakan awalan dari bergeraknya sejarah modern di Indonesia, ia mampu meresap aspirasi-aspirasi guna kemajuan Indonesia. Tak ayal ia dijuluki sebagai konseptor bagi munculnya sejarah modern di Indonesia. Setelah pertemuannya dengan KH. Sholeh Darat menjadikannya lebih kukuh untuk berjuang terutama dalam rangka menghapuskan kasta yang begitu kental. Ia mulai paham bahwa Islam mengajarkan emansipasi evolusioner yang memandang bahwa hakikat hamba memiliki kedudukan yang sama. Emansipasi evolusioner yang mampu memaksa Kartini untuk menghapus sistem kasta yang semula vertikal menjadi horizontal, yakni adab.
Dalam gagasannya, Kartini memiliki cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa terutama bagi perempuan. Baginya seorang perempuan bagaimanapun juga akan menjadi seorang ibu, dan begitu hancurnya bangsa jika seorang balita yang akan meneruskan perjuangan harus berada pada asuhan wanita yang tidak memiliki keilmuan yang luas. Perjuangan Kartini untuk memperjuangkan kaum wanita di Jawa khususnya dapat tergambar ketika ia melihat sendiri nasib ibu kandungnya yang bukan keturunan bangsawan.
Pada masa itu, syarat seorang bangsawan menjadi bupati adalah harus menikahi seorang wanita keturunan bangsawan. Sedangkan pernikahan ayah Kartini dengan ibu kandungnya dilaksanakan ketika Sosroningrat masih menjabat sebagai wedana Mayong, pada jabatannya itu ia masih bebas mau menikah dengan perempuan dari golongan apapun.
Ngasirah (ibu kandung Kartini) paham betul apa yang akan terjadi pada dirinya ketika sang suami menjadi bupati. Tidak ada lagi canda kepada suami dan anaknya, ia harus hidup di dapur karena itu sudah aturan. Bahkan untuk memanggil sang anak kandung pun tidak bisa seenaknya begitu saja, Ngasirah harus memanggil Kartini anak kandungnya sendiri dengan sebutan Ndoro. Pedih yang dirasakan Kartini karena harus melihat kenyataan pahit yang terjadi pada ibu kandunya. Dari sini ia kemudian sangat membenci perilaku poligami, bukan tanpa alasan, tetapi karena poligami yang terjadi pada masa itu seakan menjadi ketertindasan bagi kaum wanita.
Warisan leluhur berupa tata krama terkadang menjadi hantaman bagi Kartini yang pemikirannya telah terpengaruh oleh liberalisme dan feminisme Barat. Dalam tata krama Jawa memang harus mengorbankan keikhlasan yang mendalam walaupun terkadang jiwa sangat pedih menghadapinya. Ini yang terjadi pada keluarga Kartini, seakan ada tembok besar dalam keluarga mereka. Lalu apa yang membedakan antara tata krama warisan leluhur dengan feodalisme? Kartini hanya menganggap itu semua adalah aturan yang sangat rumit untuk dipahami. Maka Kartini tidak pernah menceritakan kondisi kedua ibunya kepada sahabat-sahabatnya melalui surat. Ia beranggapan bahwa memahami alam pikiran Jawa haruslah menggunakan kacamata Jawa. Karena ia sendiri telah merasakan, dari pengetahuannya yang begitu luas tentang Barat kemudian terkurung pada aturan Jawa.
Meskipun pemikiran-pemikirannya sangat gemilang, tidak dapat dipungkiri bahwa Kartini juga pernah menjadi korban feodalisme. Ia pernah menjadi gadis pingitan, tidak diperkenankan bergaul dengan dunia luar, keterbatasan berkomunikasi dengan rakyatnya sendiri terlebih kalangan paling bawah dan segala penderitaan sistem feodal lainnya yang membuat Kartini tergerak untuk merubah pola. Maka, dalam segala kebimbangannya memikirkan tata krama ataupun feodalisme Jawa, Kartini berusaha melahirkan gerakan perempuan (feminisme) untuk melawan kurungan-kurungan tersebut.
Sumber : Penafsiran surat Al-Fatihah dan Al-Baqarah ayat 257 dalam kitab Faid al-Rahman karya KH. Sholeh Darat dan pengaruhnya terhadap pemikiran RA Kartini, karya Fahmi Fahreza, mahasiswa IAIN Salatiga
Oleh: Redaktur nulisondes
0 komentar: