Senin, 18 Januari 2021

HISTORIOGRAFI ISLAM DARI MASA KLASIK HINGGA KONTEMPORER







HISTORIOGRAFI ISLAM DARI MASA KLASIK HINGGA KONTEMPORER
Oleh : Muhammad Fairus Kadomi

I. HISTORIOGRAFI EROPA KLASIK, PERTENGAHAN DAN MODERN
Kajian mengenai historiografi Eropa (Barat), terbagi dalam tiga tema besar; Historiografi Eropa klasik (kuno), masa Yunani, Historiografi Eropa pertengahan era dominasi Romawi, dan historiografi modern, meliputi historiografi orientalis dan historiografi aliran annals dari Perancis, dan pengaruh keduanya terhadap historiografi Islam. Pengertian klasik umumnya diberikan kepada semua hasil peradaban Yunani dan Romawi kuno. Sebutan ini diberikan oleh mereka yang hidup dan mendukung kebudayaan masa Renaissance dan yang menjadikan Yunani dan Romawi kuno sebagai rujukan mereka. Sebaliknya oleh para gerejawan Kristen yang hidup pada masa Abad pertengahan, kebudayaan Yunani dan Romawi ini dinilai sebagai hasil kebudayaan “pagan”, kebudayan “kafir” dari orang-orang yang belum beragama Kristen.
Historiografi Yunani Kuno
Orang-orang Yunani lebih mengutamakan rasionalis dan demokrasi. Dalam historiografi kuno mengakar rasa yang kuat akan patriotism sehingga tulisannya banyak mengangkat tentang perang dan kejayaan suatu imperium. Sebelum adanya historiografi Eropa Kuno, suatu sejarah pada awalnya berbentuk lisan atau dikenal sebagai sejarah lisan. Setelah manusia mengenal tulisan maka penyampaian sejarah ini pun berubah menjadi tradisi tulis. Penulisan awalnya berbentuk puisi atau syair. Bentuk ini kemudian berubah menjadi prosa setelah adanya usaha penulisan sejarah oleh Herodotus. Historiografi Eropa kuno yang berbentuk puisi dan syair tadi merupakan karya yang diperkenalkan oleh Homer. Karya Homer ditulis berdasarkan cerita-cerita lama, seperti menceritakan kehancuran Troya pada 1200 SM. Tulisan sejarah yang berkembang menjadi prosa dan diciptakan oleh Herodotus tersebut kemudian berkembang pada abad ke-6 SM tepatnya di Lonia. Hal ini muncul karena adanya kebebasan berekspresi di masyarakat. Tulisan sejarah yang berkembang menjadi sebuah karya dokumen timbul pada masa Thucydides. Karyanya digunakan sebagai model atau metode kritis untuk melakukan kritikan terhadap sumber sehingga mendapat karya yang akurat dan objektif. Tulisan seperti ini kemudian berkembang hingga masa Ploybius.
Historiografi Romawi
Sejarah pada masa Romawi sangat dipengarui oleh Yunani sebelumnya. Pengaruh dari masa Yunani ini kurang lebih berlangsung hingga abad ke-2 SM. Seperti halnya pada zaman Yunani Kuno, sejarawan Romawi sebagian besar konsen pada bidang kesusastraan. Selain ahli sastra, mereka adalah pendongeng dan sastrawan yang mampu menghasilkan retorika, dramatika, dan ilmu psikologis. Penulisan sejarah bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan sebagai cabang dari kesusastraan yang memiliki nilai estetika. Penulis sejarah era Romawi memiliki cara publikasi dengan menggunakan metode pembacaan di tempat terbuka dan umum. Sejarawan Romawi biasanya lebih konsen pada 1 tema mengenai penulisan sejarah tentang Roma. Tokoh utama dalam penulisan sejarah adalah Julius Caesar (100-44 SM) dengan karya yang fenomenal yakni Commentaries on the Gallic Wars & Commentaries of the Civil War. Romawi sejak perang Punisia telah berkembang menjadi kota yang mendunia. Sejarah umum yang universal tidak hanya dalam kerangka sejarah Romawi, hal ini dapat ditemukan pada karya Trogus. Pada masa yang lebih baru pada Romawi atau kejadian pada zamannya, banyak ditemukan studi monografi, contohnya momori atau tulisan peringatan dan historien atau cerita tentang detail mengenai kejadian pada masa kini atau familiar disebut dengan istilah annlen.


Historiografi Abad Pertengahan
Historiografi pada abad ini sering disebut dengan abad kegelapan hingga renaissance, tetapi dari sudut lain yaitu disebut dengan zaman yang menarik, tidak teratur namun kreatif. Umumnya pada sejarawan mengkombinasikan teologi dan fakta-fakta sejarah untuk menafsirkan yang luas dari peristiwa-peristiwa yang didasarkan atas ke-Tuhan-an. Pada era ini, sejarawan didominasi oleh pihak gereja, dengan menampilkan kepercayaan agama Kristen sejelas mungkin. Sebaliknya, perkembangan material diberikan perhatian yang justru kurang. Alasan utamanya adalah terdapat hal yang terlalu mengaitkan antara peristiwa sejarah dengan kepercayaan Kristen dalam hal ini menggunakan pemahaman mengenai Tuhan di setiap pembahasannya. Sejarawan yang popular adalah Gregory, Bede, Procopius,  Cassiodorus dan Einhard. Selain itu, terdapat tokoh Esebius yang menulis tentang sejarah gereja, Saint Augustinus mengenai sejarah adalah interaksi Kristen dan duniawi; menuis the City of God yang menyangkut dengan filsafat sejarah spekulatif atau pola gerak sejarah yang bersifat linier; periode sejarah dengan konsep teologi Kristen sentris.
Historiografi Modern
Perkembangan historiografi Eropa modern dimulai dengan masa pencerahan atau renaissance yang ditandai dengan masyarakat inin terlepas dari ikatan gereja. Perkembangan pada masa ini dibarengi dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa. Historiografi modern ini juga didukung dengan adanya tokoh aliran rasionalismme yang lebih mengedepankan logika, berfikir kritis, skeptic, dan realistis. Kebudayaan masyarakat pada masa renaissance memiliki ciri khas yaitu antroposentris (manusia sebagai pusat peradaban); sekuler (pandangan hidup bersifat duniawi dan orientasi materi); dissegetigheit (hidup hanya untuk dinikmati).
Historiografi modern tidak lepas dari berbagai tokoh filsafat, terorika, sastrawan dan para akademis atau ilmuwan yang memiliki pengaruh didalamnya. Bangsa Eropa sadar bahwa umat Islam sudah terlalu dominan terhadap kemajuan pada abad sebelumnya, hal ini  juga menjadikan faktor yang memiliki kekuatan tersendiri bagi bangsa Eropa. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa aliran yang memengaruhi penulisan sejarah pada era modern, yakni seperti aliran rasionalisme yang menolak visi tradisonalis yang berujung pada interpretasi sejarah secara teologis; aliran positivism yang mengajarkan bahwa ilmu harus dapat membuat hukum-hukum, sehingga ilmu yang dilengkapi dengan hukum yang dapat diakui sebagai ilmu pengetahuan; aliran romantisme dalam penulisan sejarahnya harus terdapat unsur internal yaitu emosi atau perasaan; metode sejarah kritis yang memiliki ciri khas bahwa sejarah merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi dan tidak diperkenankan untuk di lebih-lebihkan.

II. KAJIAN KRITIS PADA HISTORIOGRAFI ORIENTALIS
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan “Timur". Sedangkan kata orientalisme (Belanda) ataupun orietalism (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi orientalisme berarti sesuatu paham, atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya. Minat orang Barat untuk meneliti maslaah ketimuran sudah berlansun sejak abad pertengahan. Mereka melahirkan sejumlah karya yang menyangkut dunia ketimuran khususnya Islam. Secara garis besar, orientalisme dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu (1) masa sebelum meletusnya perang salib saat umat Islam berada dalam zaman keemasannya (650-1250); (2) masa perang salib sampai masa pencerahan di Eropa; (3) munculnya masa pencerahan di Eropa sampai sekarang.
Masa Sebelum Perang Salim / Era Kejayaan Islam
Apada zaman keemasan Islam, negeri kekuasaan Islam khususnya Baghdad dan Andalusia menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Bangsa Eropa yang merupakan penduduk asli setempat Adalusia menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi dan adat Arab dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga menuntut ilmu di perguruan tinggi Arab. Peradaban Islam berpengaruh bagi bangsa Eropa yang berada di bawah kekuasaan Islam, tapi juga bagi orang Eropa di luar itu. Salah satu tokoh yaitu Adelard yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dibawah kekuasaan Islam mempelajari bahasa Arab karena dipandang memiliki unsur pengetahuan di bidang ilmiah dan filsafat. Setelahnya, perkembangan akan kajian bahasa Arab juga dipergunakan di berbagai universitas di Eropa seperti Oxford, Chartres, Bologna sekitar abad ke-11 dan muncul penerjemah pertama bernama Constantinus Africanus dan Gerard Cremonia. Tujuan orientalisme pada masa ini adalah memindahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Di Italia pelajaran bahasa Arab di Roma (1303, Florencia (1321), Padua (1361), dan Gregoria (1553); di Perancis pada tahun 1217, Montipeller 1221, Bordeaux 1441; di Inggris dilaksanakan di Cambridge 1209, dan di bagian Eropa dimulai pada abad ke-15.
Masa Perang Salib hingga Masa Pencerahan di Eropa
Perang salib yang dimenangkan oleh Islam terjadi antara tahun 1096-1291 yang terjadi antara umat Islam dan Kristen Barat. Pada periode awal perang salib ini, dibentuklah studi Islam untuk melaksanakan misi pada abad ke-12 masa Peter Agung. Proyek besar ini melibatkan penerjemah, sarjana untuk memulai studi sistematis tentang Islam. Peter memberikan otoritas untuk menerjemahkan dan menafsirkan teks-teks Islam yang berbahasa Arab, selanjutnya terjadilah cerita-cerita cabul tentang Nabi Muhammad. Kesalahpahaman cerita ini justru memojokkan Islam dalam karyanya. Kajian orientalis pada masa ini difokuskan pada 3 topik mengenai Al-Qur’an, nabi Muhammad dan penyebaran agama melalui penaklukan. Dalam situasi sosial politik ini, ternyata aktivitas penerjemahan jauh lebih menarik di Eropa Kristen. Pada akhir abad ke 12 muncul
sekumpulan karya peripatetik Muslim Ibn Sina (w. 1037) dan beredar di Eropa. Semakin banyaknya karya filosofis dan ilmiah diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin, para sarjana Eropa akhir abad pertengahan memandang Dunia Muslim kontemporer sebagai peradaban sarjana dan filosofis, yang sangat kontras dengan popularitas pandangan menghina Muhammad dan praktik religius Islam. Sebab lain yang menyebabkan dunia Islam dihormati adalah akibat kesuksesan militer dan diplomasi Ayyubiyah, Shalah al-Din (1138-1193) terhadap perang salib. Sehingga kaum Kristen, baik dari kalangan sarjana, maupun pendeta pada saat itu, selain menghormati, juga mengamati sikap dan praktek religius yang shaleh dari umat Islam.
Munculnya Masa Pencerahan di Eropa hingga Sekarang
Ketegangan antara Kristen dengan Islam yang timbul akibat adanya tulisan negatif para orientalis yang ditujukan kepada Islam dan umatnya mulai mereda setelah memasuki masa pencerahan di Eropa yang kemudian diwarnai keinginan mencari kebenaran. Sikap positif inilah yang muncul akibat adanya perubahan religious, politik, intelektual yang mendalam pada era reformasi abad ke- 16. Tulisan yang kemudian juga berubah ditunjukkan oleh Voltair dan Thomas Caryle. Tulisan mereka mengenai Islam mengandung penghargaan kepada nabi Muhammad SAW dan Al- Qur’an serta ajaran-ajarannya. Pada periode ini tulisan orientalis ditujukan untuk mempelajari Islam seobjektif mungkin, agar dunia Islam diketahui dan dapat dipahami mendalam. Hal ini perlu karena orientalisme tidak dapat dipisahkan dengan kolonialisne, bahkan usaha kristenisasi. Mereka adalah Sir Hamilton, Louis Massignon, W.C. Smith dan Frithjof Schuon. Tokoh-tokoh tersebut tentu mempelajari bahasa Arab dan kebudayaan Islam. Beberapa focus kajiannya adalah mengenai akhlak, tasawuf, filsafat, kenabian. Kegiatan para orientalis meliputi:
1. Mengadakan kongres secara teratur
2. Mendirikan lembaga kajian ketimuran
3. Mendirikan organisasi-organisasi ketimuran
4. Menerbitkan majalah
Demikian orientalis berkembang dalam bentuk studi ilmu pribadi oleh para ilmuwan Barat ke dalam bentuk lembaga yang terstruktur.


III. HISTORIOGRAFI ALIRAN ANNALS (PERANCIS)
Aliran Annales mulai berkembang di Perancis pada tahun 1929 yang dipelopori oleh Lucian Febvre dan March bloch. Aliran ini merupakan sebuah model penulisan sejarah yang terbilang antimainstream pada pola umum penulisan sejarah di masanya. Pengaruhnya cepat meluas dengan diterbitkannya jurnal d’histoire economique et Sociale yang merupakan media temat para tokoh Annals mempublikasikan pikiran mereka dibidang penulisan sejarh. Aliran ini merupakan ide inovasi baru dan memiliki kesan dahsyat pada penulisan sejarah abad ke-20. Dalam dinamika penulisan sejarah aliran Annals, dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertama dimulai sejak tahun 1929 dan berlangsung hingga selesainya perang dunia ke II pada tahun 1945. Penulisan sejarah ini mulanya digunakan untuk melawan historiografi tradisional tentang sejarah politik dan sejarah peristiwa.
2. Fase kedua dimulai setelah perang dunia II hingga 1968. Tahap kedua merupakan pengenalan konsep mengenai struktur dan konjunktur dan metode tersendiri mengenai sejarah berseri atau perubahan dalam masa yang panjang. Tokoh dalam fase ini adalah Braudel
3. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 1968 hingga 1989. Pada tahap ini pengaruh gerakan Annals di Perancis demikian besar sehingga Annals terpaksa untuk kehilangan bentuknya sendiri. 20 tahun kemudia beberapa anggotanya justru memilih untuk melakukan pembelotan dari sejarah sosial ekonomi ke sejarah sosio kultural, sementara yang lain kembali ke sejarah peristiwa dan sejarah politik
Karakteristik historiografi Annals adalah kecenderungan untuk menetapkan apa yang disebut dengan konsep total history yang tidak hanya menyentuh satu sisi tertentu saja, akan tetapi sejarah yang ingin membahas semua dimensi kehidupan manusia. historiogragi Annals melihat bahwa sejarah dapat digabungkan dengan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, ekologi, geografi dan lainnya. Metodologi yang digunakan dalam aliran Annals ini menggunakan pendekatan sejarah totalnya. Aliran Annals membebaskan ilmu sejarah dari kecenderungan pemikiran yang kurang luas dan terpaku dalam peristiwa politik saja, maka dari itu Annals menjadikan ilmu sejarah sebagai ilmu yang terbuka terhadap ilmu-ilmu lain sehingga akan memahami perkembangan sejarah yang lebih komprehensif.
Pada era Lucian Febvre dan March Bloch, mereka menyadari bahwa munculnya makna yang lebih dalam dari sebuah peristiwa, namun sejarah akan dapat terungkap dengan memberikan penjelasan tentang kejadian sejarah itu sendiri terkait dengan kehidupan sosialnya. Menurutnya, mentalitas bisa menjadi faktor dalam kesejarahan dan menulusuri jejak masa lalu yang tidak tertulis yang pada umumnya luput dari penulisan sejarah. Aliran Annals mencoba untuk memasukkan gejala kemanusiaan terhadap perubahan, yakni mengenai mentalitas di sisi imajiner kolektif atau dibawah kesadaran kolektif.
Braudel melihat bahwa waktu kesejarahan meliputi 3 hal, yaitu (1) sejarah peristiwaj yang melihat perubahan sejarah yang sangat cepat dalam mengikuti perkembangan teknologi; (2) waktu sejarah yang bergerak pelan adalah implementasi dari sejarah sosial yang berhubungan dengan kelompok manusia; (3) sejarah yang hampir tidak bergerak, bahkan mungkin tidak berubah, hal ini dikarenakan adanya pengaruh mentalitas yang terjadi di dalam masyarakat.
Kaum Annales menggunakan sumber sejarah sebagai sumber primer, akan tetapi dalam menafsirkan sumber tersebut ke dalam tulisan sejarah, diperlukan sebuah kajian yang lebih mendalam mengenai makna. Dokumen memang sangat penting, akan tetapi aliran Annals ini mengembangkan sejarah sosial yang tak kenal pagar pembatas, baik ekonomi,struktur, dan konjunktur, mentalitas, sejarah total, sejarah berjangka panjang. Oleh karenanya, pendekatan Annals dalam menganlisi kajian budaya memberikan gambaran tentang kecenderungan merekonstruksi sejarah masyarakat dalam berbagai aspek yang menyeluruh dan akhirnya dapat terlihat bahwa kajian budaya justru sangat membangun untuk menafsirkan sebuah kejadian sejarah.
IV. HISTORIOGRAFI ISLAM PERIODE KLASIK
Islam masa klasik dimulai sejak masa kenabian Muhammad SAW hingga keruntuhan Bani Abbsasiyyah di tangan Hulagu Khan dari Mongolia. Periode klasik dapat dibedakan menjadi masa kemajuan Islam dan masa disintegrasi. Masa kemajuan Islam terjadi pada tahun 650-1000 Masehi yang merupakan masa ekspansi, integrasi, dan keemasan Islam. Masa disintegrasi (1000-1250 M) terjadi di bidang politik pada akhir zaman bani Umayyah, akan tetapi kemudian memuncak pada zaman bani Abbasiyyahh, terutama setelah para khalifah menjadi lemah dalam tangan pengawal Turki. Daerah-daerah yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan di Damaskus dan kemudian Badghdad melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pusat dan bermuncullah dinasti-dinasti kecil.
Persoalan Materi Sejarah
Persoalan yang menjadi focus utama dalam kajian historiografi Islam Klasik adalah mengenai persoalan materi (kandungan isi) bahasan dan metodologi. Persoalan pertama adalah berkaitan dengan dua persoalan yang saling berkaitan; persoalan yang berorientasi politik yang memunculkan sejarah politik dan materialism sejarah. Persoalan yang kedua adalah berkaitan dengan penggunaan periwayatan (hadis), hauliyat (sejarah berdasarkan tahun) sebagai metode dalam penulisan historiografi Islam Klasik
Secara konseptual, konsep sejarah Islam Klasik yang dibangun oleh para sejarawan awal Islam mengacu pada pandnagan bangsa Arab pra Islam tentang sejarah sebagai peristiwa yang penting, elitis dan politis. Sejarawan awal Islam seperti Ibnu Ishaq, Al-Waqidi dan Ath-Thabari selin terpengaruh oleh konsep dan sumber kesejarahan Islam yang berasal dari dokumen politik, pada saat yang sama mereka memiliki hubungan timbal balik dengan kerajaan bani Umayyah dan Abbasiyyah serta terpengaruh oleh pandangan dunia dan mazhabnya. Adapun hubungan timbal balik berupa keterlibatan aliran mazhab keagamaan  dan pengaruh terhadap sebuah karya.
Pembahasan sejarah pada awal Islam terbatas pada orientasi politik sehingga memunculkan materialism sejarah karena peristiwanya bertemakan sejarah politik seperti peperangan/ al-maghazi, pembukaan atau perluasan wilayah/ al-futuhat, peristiwa thaqifah, al-fitnah al kubra (perang jamal dan oerang shiffin), dan al-khilafah, yang menjadi sentral tema dari historiografi Islam periode klasik.
Persoalan Metodologis
Penggunaan metode periwayatan atau hadis dilakukan pada masa Islam klasik oleh sejarawan Islam seperti Ibnu-Ishaq, Al-Wakidi, dan At-Thabari dengan memberikan peranannya terhadap perkembangan dan kemunculan historiografi Islam klasik. Akan tetapi juga terdapat persoalan lain mengenai keterbatasan metode yang dipakai. Hal ini terjadi dikarenakan mereka hanya meriwayatkan, menukil dan menyampaikan cerita, berita, dan peristiwa yang diriwayatkan oleh perawi dan pemisah kepada perawi yang lainnya, sehingga focus mereka hanya terbatas pada cerita dan peristiwa yang diriwayatkan dan dikisahkan itu sampai kepada sejarawan, tanpa memerhatikan kandungan atau isi materi. Cara memahami dengan melibatkan konteks dan pemahaman yang utuh menjadi permasalahan dari peristiwa tersebut. 
Metode Historiografi dalam Tradisi Muslim Era Klasik
Bentuk penulisan karya sejarah Islam tidak terlepas pada bentuk yang dikembangkan sejak awal, yaitu riwayah dan dirayah. Metode riwayah merupakan suatu metode yang menghubungkan informasi sejarah/ riwayat dengan sumber-sumbernya yang menurut ukuran sekarang dapat dipandang telah memenuhi secara ideal dalam penelitian historis dan penelitian ilmiah. Tokoh penulis sejarah Islam klasik yang mengembangkan metode ini adalah ‘Urwah bin Zubair dan Ath-Thabari. Metode dirayah atau historiografi dengan dirayat merupakan metode sejarah yang menaruh perhatian kepada pengetahuan secara langsung dari satu segi dan interpretasi rasional dari segi lainnya. Tokoh yang mengembangkan metode ini adalah Al-Mas’udi, Ibn Maskawaih, dan Ibnu Khaldun. Kedua metode ini sering disebut dengan metode at-tautsiq wa itsbatul haqaiq dan metode at-tafsir at-tarikhi.
Metode historiografi riwayat adalah metode dengan mempelajri sanad dan matan peristiwa sejarah yang berpegang pada nash yang benar dan berita yang terfilter, yaitu dengan mengaitkan ilmu sejarah dengan salah satu cabang ilmu hadist yang disebut dengan ilmu jarh wa ta’dil, yang membahas biografi, sifat, akhlaq dan aqidah seorang rawi. Dengan bantuan kitab-kitab tentang kaidah periwayatan, ilmu jarh wa ta’dil  sangat bermanfaat untuk mendalami kajian sejarah dengan dalam. Melalui kaidah ini juga akan dapat diketahui nilai sebuah berita apakah benar atau shahih atau hasan dan menjauhi riwayat yang dhaif/maudhu’, apalagi tujuan dari studi sejarah adalah untuk menguak hakikat sejarah.
Ahli sejarah yang memiliki perhatian terhadap sirah nabawiyyah adalah Abban bin Utsman, Urwah bin Zubair bin Awam, Ashim bin Umar bin Qatadah, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri, Musa bin Uqbah, Ma’mar bin Rasyid, dan Muhammad bin Ishaq. Salah satu sejarawan Islam Klasik yaitu Imam at-Thabari, melakukan hal-hal yaitu: (1)meneliti jalur periwayatan; (2)hanya berpegang pada sumber-sumber syar’I Al-Qur’an dan As-sunnah.
Dalam metode dirayat ini, terdapat dua ilmu yang dipelajari, yaitu ilmu sanad hadis dan matan atau isi hadis. Metode sanad digunakan untuk menyepakati validitas suatu informasi. Ulama hadis telah membuat literature yang memungkinkan peneliti hadis untuk mengetahui keadaan seorang rawi apakah sang perawi termasuk tsiqah, dhaif, atau tercampur antara tziqah dan dhaif, dan tentang jarh wa ta’dil-nya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah : (1)kitab ats-Tsiqaat karangan Abu Hasan Ahmad bin Abdullah Alijli dan Umar bin Ahmad bin Syahin; (2)kitab Dhu’afa As-Shaghir wa Dhu’afa’ al-Kabir karangan Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan Kitab Adh-Dhu’afa wal Matrukiin, karangan Abu Zur’ah Ar-Raazi; (3) kitab yang mengumpulkan antara tsiqah dan dhaif meliputi al-Jarh wa Ta’dil karangan Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi dan Tarikh Imam Bukhari: Al-Kabir, Al-Ausath dan As-Shagir. Sedangkan metode matan merupakan hal yang disampaikan dari sanad, berupa perkataan atau berita. Objek dari studi ini meliputi nash agar tidak melebihi syarat, kaidah-kaidah, dan urf (kebiasaan) manusia, menyelisihi pengetahuan dan sejarah manusia, perkara yang mustahil, dan lainnya. Objeknya juga bisa dalam bentuki hukum-hukum fiqh.
Sebelumnya, telah penulis sampaikan bahwa metode historiografi dengan dirayat adalah metode sejarah yang menaruh perhatian kepada pengetahuan secara langsung dari satu segi dan interpretasi rasional dari segi lainnya. Kaidah yang harus dipenuhi jika menggunakan metode ini adalah: (1)berpegang pada sumber syariat dan mendahulukannya dari setiap berita, ketentuan, dan kaidah yang lain; (2)memiliki pemahaman yang benar tentang iman dan perannya dalam menafsirkan peristiwa; (3)pengaruh akidah dalam mengubah perilaku orang Islam; (4)peristiwa besar yang menggerakkan sejarah; (5)mengetahui kadar, keadaan, dan posisi manusia dan mengecek setiap yang mereka katakan; (6)membicarakan manusia harus berdasarkan ilmu, adil, dan eberimbang; (7)melihat banyaknya keutamaan; (8)memahami peristiwa yang terjadi karena salah ijtihad.
Bentuk Historiografi Islam Masa Klasik
1. Khabar, yaitu dapat diartikan sebagai laporan, kejadian, atau cerita, biasanya lebih banyak berisi tentang ceita peperangan dan kepahlawanan. Khabar adalah bentuk historiografi yang paling tua yang berhubungan langsung dengan cerita perang dengan uraian yang baik dan sempurna yang ditulis dalam beberapa halaman. Khabar bercirikan tidak terdapat hubungan sebab akibat antara dua atau lebih peristiwa, sesuai dengan ciri khasnya yang berakar jauh sebelum Islam, cerita-cerita perang dalam bentuk khabar tetap menggunakan cerita pendek, memilih situasi dan peristiwa yang disenangi dan kadang-kadang menyalahi peristiwa yang sebenarnya, dengan bentuk khabar yang bervariasi sebagai cerita pertempuran yang terus menerus dan sebagai ekspresi yang artistic, khabar disajikan dengan puisi dan syair
2. Tarikh atau sejarah analitis, yaitu bentuk khusus penulisan sejarah dengan menggunakan metode kronologis yaitu pencantuman peristiwa tiap tahunnya. Penulisan tarikh dikembangkan oleh para sejarawan karena memudahkan sistematika penulisan sejarah, merupakan rangkuman dari suatu peristiwa menurut seorang sejarawan, memudahkan pembaca dalam memahami suatu peristiwa sejarah, merupakan penghubung dari fakta-fakta sejarah. Penulis pertama tarikh adalah Ibnu Jarir ath-Thabari  yang merupakan sejarawan dari Baghdad.
3. Kronik, merupakan penulisan sejarah berdasarkan urutan penguasa dan tahun-tahun peristiwa. Kronik dapat dipahami sebagai catatan dinasti atau penguasa. Hampir seluruh catatan sejarah dalam bentuk kronik adalah cerita tentang kekuasaan, kemenangan perang, dan kepahlawanan sang pendiri dinasti serta anak cucunya. Contoh karya sejarah kronik adalah seperti yang ditulis oleh khalifah Ibn Khayst mengenai arti tarikh dan uraian singkat mengenai sejarah Muhammad pada permulaan hayatnya, Ibn Jarier Ath-thabari tentang tarikh al-umam wa al-Mulk yang meliputi sejarah nabi di Mekah dan lain-lainya.
4. Biografi/ thabaqat / munaqib, disusun dalam kelompok yang disebut “tabaqah”. Tabaqah terdiri dari beberapa lapisan. Bentuk penulisan sejarah saat itu sangat mementingkan keberadaan tokoh-tokoh besar, seperti nabi Muhammad dan situasi yang menggambarkan Islam masa dahulu. 
5. Nasab, merupakan catatan keluarga. Bagi bangsa Arab, menjaga jalur keturunan terutama bagi yang mempunyai nenek moyan, tokoh terhormat, menyebabkan mereka harus menuliskannya
6. Sejarah umum. Dalam karya historiografi Islam, bahan mentah yang banyak digunakan adalah sejarah yang berkaitan dengan politik yang terbatas pada administrasi dan tindakan militer yang dilakukan oleh para penguasa saat itu.



Aliran Historiografi Islam Klasik
1. Aliran Yaman
Aliran ini disebut juga dengan aliran Arab Selatan. Riwayat-riwayat tentang Yaman pada masa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat, sebagaimana al-Ayyam di kalangan Arab Utara. Isinya adalah cerita khayal dan dongeng kesukuan. Aliran ini merupakan kelanjutan dari corak sejarah sebelum Islam. Penulisnya dapat dijuluki dengan tukang hikayat, dan kitab-kitabnya dapat dikatakan riwayat sejarah. Oleh karena itu, para sejarawan tidak menilai hikayat itu memiliki nilai historis.
2. Aliran Madinah
Aliran ini muncul di Madinah, yaitu aliran sejarah ilmiah yang mendalam, yang banyak memerhatikan al-Maghazi (perang-perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW) dan biografi nabi, dna berjalan pula diatas pola ilmu hadis, dengan memerhatikan sanad. Sejalan dengan riwayat perkembangannya, para sejarawan dalam aliran ini terdiri dari ahli hadis dan hukum Islam. Mereka adalah Abdullah ibn Al-Abbas, Said ibn Al-Musayyab, Aban ibn Utsman ibn Affan, Syurahbil ibn Sa’ad, Urwah ibn Zubair ibn Al-Awwam, Ashim ibn Umar ibn Qatadah Al-Zhafari, Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab Al-Zuhri dan Musa ibn Uqbah.
3. Aliran Irak
Aliran Irak merupakan aliran yang terakhir dengan bidang cakupan lebih luas dari aliran sebelumnya. Langkah pertama yang menentukan perkembangan penulisan sejarah di Irak yang dilakukan oleh bangsa Arab adalah pembukuan tradisi lissan. Hal itu dilakukan pertama kali oleh Ubaidullah ibn Rafi, sekretaris Ali ibn Abi Thalib ketika menjalankan kekhalifahannya di Kufah


V. HISTORIOGRAFI ISLAM PERIODE PERTENGAHAN
Abad pertengahan Islam berlangsung sejak keruntuhan Bani Abbasiyyah di tangan pasukan Mongol pada tahun 1258 hingga masa kolonialisme Barat atas dunia Islam (1800). Masa ini ditandai dengan dominasi 5 kerajaan besar di dunia Islam, yaitu Turki Utsmani, Safawiyah Persia, Mughal India, Aceh Darussalam di Melayu, dan Mataram Islam di Jawa. Historiografi pada masa pertengahan merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya dari segi bentuk, metode, dan materi. Masing-masing sejarawan pada abad pertengahan memang bertumpu pada tradisi penulisan Arab dan senantiasa kembali pada Al-Qur’an dan hadis, akan tetapi beberapa memadukan berbagai ilmu kepakarannya dengan unsur-unsur lokal dimana ia berpijak. Menurut Yusni Abdul Ghani Abdullah, gerak zaman Keislaman dipengaruhi oleh (1)melimpahnya bahan kesejarahan sebagai akibat maraknya lembaga pemerintahan pada masa dinasti Abbasiyyah; (2)maraknya aktivis penerjemah karya-karya dari bahasa Persia, Yunani, Suryani dan Latin ke dalam bahasa Arab; (3)ketersediaan sarana mobilitas yang memadai sehingga para pelajar dan sejarawan terfasilitasi dalam penjelajahan ilmiah; (4)ekspansi perdagangan ke dunia timur Jauh, terutama ke Malaka sehingga ikut serta membawa budaya dan tradisi.
Historiografi Tarikh al Baghdad contohnya yang ditulis oleh Abu Bakar al-Baghdadi merupakan indikasi bahwa terdapat perkembangan dalam pemfokusan kepakaran dalam sejarah Islam. Karya lain seperti Ibnu Battuta yang ditulis pada abad ke 15, bahwa ia sempat menulis tentang keadaan Pasai yang sempat ia kunjungi pada tahun 1343 dan 1346. Selain itu, penulisan biografi juga mengalami kemaajuan yang pesat. Setelah hancurnya Baghdad oleh Hulagu Khan pada tahun 1258, Abdul Khair al-Hamdani sejarawan Persia sempat menuliskan biografi penguasa pastoral dari Asia Tengah. Bagaimanapunhancurnya Baghdad merupakan sebuah luka mendalam bagi umat Islam. Namun, sebagai seorang sejarawan terkait posisinya sebagai pewarta zaman tentu saja hal itu bukan merupakan sebuah permasalahan dengan mangabdikan kisah sang penakluk sebagai informasi untuk umat di masa depan.
Karya monumental yang menjadi sebuah karya yang popular hingga masa kini adalah Mukaddimah oleh Ibnu Khaldun. Mukaddimah merupakan jilid awal dari kitab al-‘ibar wa diwan al-Mubtada’ wal Khabar fi Ayyam al-Arab wal Ajam wal Barbar wa Man ‘Asaruhum min Dzawil Sultan al-Akhbar (Contoh-contoh yang Mengandung Pelajaran dan Kumpulan Asal-usul dan Infomasi Mengenai Sejarah bangsa Arab, Persia, dan Barbar). Karya ini merupakan karya agung dalam historiografi abad pertengahan. Pada karya tersebut, Ibnu Khaldun menggelar kaidah-kaidah yang dipakainya dalam meneliti sejarah. Ia juga mulai memberikan pemahaman bahwa menulis sangat penting dengan merujuk pada kaidah yang bersifat objektif dan ilmiah dalam pengamatan, pengumuman, pengujian fakta atau dalam menyintesiskan dengan analisis logika induktif. Berdasarkan sistematika penulisan terhadap karyanya yakni Kitab al-Ibrah dapat dkatakan bahwa metode yang digunakan adalah metode historiografi dirayah. Metode ini menjelaskan mengenai mengungkapkan sejarah harus di kritik secara intelektual atau rasional serta didukung oleh observasi langsung terhadap peristiwa yang diteliti.
Abad ini dapat dikataan sebagai era dimana pintu gerbang peradaban Islam mulai dibuka. Hal ini membawa historiografi Islam kea rah kajian studi yang lebih mendalam. Beberapa diantara karya-karya yang sifatnya tematik tak sedikit yang berlandaskan pada catatan-catatn sejarah yang ditulis menggunakan pendekatan yang variatif. Dengan menggunakan alat analisis yang beragam seperti ilmu sosial sudah menunjukkan bahwa metodologi sejarah islam untuk dapat mengungkap fakta sejarah.

VI. HISTORIOGRAFI ISLAM PERIODE MODERN
Masa historiografi Islam modern mengambil patokan pada akhir abad ke-18, ketik Mesir sudah memerlihatkan tanda kebangkitan. Pada era ini, penulisan sejarah Islam dilakukan oleh beberapa cendekiawan dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Di Mesir, penulisan sejarah Islam pada masa modern merupakan salah satu masa yang penting. Gerakan kepenulisan dimulai sejak awal abad ke-18 seiring dengan gerakan kebangkitan intelektual di Mesir. Sejarawan pertama adalah Abdur Rahman al-Jabarti (1753-1825) melalui karyanya ‘Ajai’ib al Athar fi’l tarajim wal-akhbar (Jejak Ajaib), yang lebih banyak menumpukkan tulisannya pada penulisan sejarah Mamluk dan jatuh bangunnya kerajaan Islam sehingga masuknya penjajah Prancis ke Mesir. Karya sejarah penting lain adalah tarikh al-Tamaddun al-Islami (sejarah peradaban Islam) yang ditulis oleh Jurji Zaidan (1861-1914) dan trilogy sejarah Islam, Fajr al-Islam, Duha al-Islam, & Zuhr al-Islam yang ditulis oleh Ahmad Amin. Para sejarawan muslim modern yang lahir pada masa 1800-1900 adalah Ahmet Cevdet Pasha dari Turki Utsmani, dan Ahmad bin Khalid al-Nasiri dari wilayah Maghribi.
Sejarah historiografi Islam secara umum ditulis oleh Franz Rosenthal, salah satu karyanya adalah a History of Muslim Historiography. Karya ini banyak memberikan pengaruh besar dalam sejarah penulisan sejarah Islam. Karya lin yang dapat dijadikan bahan studi historiografi Islam adalah tulisan J.H. Kramers yang berjudul Historiography among the Osmani Turks; H.A.R Gibb dengan judul Tarikh yang terdapat dalam Encyclopedia of Islam dan Studies on the Civilizatition of Islam yang terbit di London pada tahun 1962.
Pasca al-Jibarti, pada awal paruh kedua abad ke-19 muncul dua kelompok yang menjadi pelopor setelah al-Jibarti dalam kebangkitan kepenulisan sejarah. Pertama adalah Rifa al-Thahthawi yang memiliki latar belakang pendidikan Islam di al-Azhar, kemudian menambah pengetahuan di lembaga pendidikan di Perancis. Kedua adalah kelompok Ali Mubarak yang memiliki latarbelakang pendidikan yang berbeda dengan kelompok pertama. Sejak abad ke-20, Barat menjadi kiblat historiografi islam dalam bidang metodologi dan tema. Sejarawan muslim di dunia Arab, sejak awal abad ke-20 perlahan tapi pasti banyak mengambil tema, metodologi, pendekatan penulisan sejarah dari Barat. Perubahan-perubahan materi, tema, metodologi, dan pendekatan penulisan di Barat sejak itu ikut mewarnai perubahan historiografi Islam.
Tokoh sejarawan Mustafa Fathi Usman menerjemahkan general history ke dalam bahasa Arab dengan Tarikh al-Am yang dapat dibedakan dengan al-tarikh al-Khas (sejarah yang hanya mengkaji satu aspek sosial). Selain Fathi Utsman, lahir karya-karya dari Husain Haykal dan Mahmud Abbas al-Ikkad. Haykal menulis hayat Muhammad (sejarah Hidup Muhammad) dan di Lembah Wahyu. Karya-karyanya menduduki tempat penting dalam perpustakaan-perpustakaan bahasa Arab. Salah satu metodologi sejarah Islam yang berkembang pada masa ini adalah mazhab Annales atau sejarah total. Salah satu perpektifnya adalah revisionism historis dan evolusionisme komparatif

VII. HISTORIOGRAFI ISLAM DI INDONESIA PERIODE KOLONIAL
Historiografi Islam pada masa kolonial adalah sejumlah karya sejarah yang ditulis oleh orang-orang muslim pada masa pemerintahan kolonial yang saat itu berkuasa di Nusantara, yaitu sejak zaman VOC (1600) hingga masa pemerintahan Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara pendudukan Jepang dating ke Indonesia (1942).
Periode ini sangatlah panjang, akan tetapi periode-periode ini dapat dilihat sebagai titik awal identitas Islam di Indonesia. Hal ini dapat disebabkan masuknya Islam ke Indonesia ditandai dengan akulturasi budaya yang sangat kental, berjalan lancer, dan tidak memberikan efek kejut terhadap penduduknya. Islam dapat melebur dengan budaya lokal, tanpa adanya kekerasan.
Pada periode kolonial, tradisi penulisan sejarah Islam pada saat itu sangat dipengaruhi oleh tradisi kajian dan penelitian kalangan ilmuwan Belanda. Perlu ditegaskan pula, bahwa pemerintahan Hindia Belanda  yang dikendalikan oleh para Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli sangat aktif menulis karya sejarah. 
Dalam hal penulisan sejarah, maka dalam periode kolonial, historiografi Islam dibagi menjadi 2, yaitu yang ditulis oleh orang asing, dan orang pribumi. Orang asing dari Belanda seperti Snouck Hurgronje, F.W. Stapel dan lain-lain, sedangkan ulama pada abad ke 19 seperti Syeikh mohammad Arsyad al-Banjari, Syekh Nawawi banten, Sayyid Utsman, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Haji Ahmad Ripangi dari Kalisasak dan lain-lain. 
Karya Snouck Hurgronje yang dijadikan pertimbangan ialah tentang laporan situasi politik agama di Aceh. Laporan ini meliputi 4 jilid; 2 jilid pertama merupakan uraian tentang alam dan bangsa, dengan perhatian untuk tokoh-tokoh yang penting (pengerjaannya menjadi buku de Atjehers atau Orang Aceh yang terdiri dari 2 jilid yang kemudian terbit pada tahun 1893/1894 sebagai penerbitan pemerintah. Karya ini merupakan telaah antropologi budaya lengkap yang meliputi segalanya, yang belum pernah ditulis oleh Hindia Belanda. Sebelum Snouck Hurgronje, tidak ada yang sempat mengetahui adanya hikayat-hikayat, perigatan-peringatan, dan perjanjian-perjanjian sebagai media propaganda perang yang penting. Snouck memperoleh pengetahuan tersebut dengan berbaur dengan masyarakat. Snouck menuliskan permainan anak-anak, adat istiadat perkawinan, hubungan kekuasaan antara kaum ulama dan kaum hulubalang dan keterangan-keterangan pribadi mengenai segala yang dikenal, dan masih banyak lagi yang tidak dikenal, akan tetapi pemimpin-pemimpin perlawanan sama pentingnya. Laporan tersebut benar-benar seperti pengungkapan. Itulah 2 jilid pertama, sedangkan 2 jilid terakhir tidak diterbitkan pemerintah. Jilid ke-3 berupa laporan Beschouwwing van de hoofdmomenten des oorlogs in ververband met onze beschriving van het karakter des volks (tinjauan tentang saat-saat penting dalam perang sehubungan dengan pelukisan kita tentang watak rakyat). Jilid ke-4 memuat kesimpulan-kesimpulan akhir, didalamnya penasihat pemerintah muda usia untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam dalam memberanikan diri menganjurkan politik Aceh radikal lain daripada yang dilaksanakan sekarang
Dua bagian terakhir yang merupakan saran strategis kepada pemerintah Belanda ia tulis dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh. 2 bagian awal telah diterbitkan sejak Snouck Hurgronje masih hidup, sementara 2 bagian terakhir diterbitkan ke publik setelah Snouck Hurgronje wafat.
Dalam hal melakukan penelusuran sumber atau informasi di dalam penyelidikannya, Snouck Hurgronje berkomunikasi dengan informan penting, salah satunya Haji Hasan Mustapa (1852-1930) yang sebelumnya sempat ditemuinya di Mekah dan membuat janji untuk bertemu di Hindia Belanda
Keterlibatan Snouck Hurgronje dalam masalah Aceh sering diperbincangkan, hal ini diakibatkan peran penting dari informan lokal dalam menyusun de Atjehers. Dalam kurun waktu 7 bulan, bagaimana mungkin ia mampu memperoleh sumber mengenai orang Aceh secara mendalam. Oleh karena itu, banyak anggapan bahwa ia menggunakan informan lokal untuk memperoleh data yang diperlukannya, seperti Muhamat Nurdin, Dokarim dan lain-lain
Dalam rangka mendapat perhatian dari masyarakat Aceh, maka perlulah Snouck Hurgronje memengaruhi, mengarahkan tindakan lawan dengan cara yang efektif yaitu tanpa kekerasan dan lebih efisien. Selain itu, pendekatan etnografis partisipatoris dengan menjadi bagian dari yang diteliti dan mengadopsi entitas kultural mereka terbukti sangat efektif untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam terkait objek kajiannya.
Dalam karangan ilmuwan Belanda yang ada di Hindia Belanda, penulisan sejarah yang modern diawali dengan penulisan sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Penulisan sejarah ini dilakukan oleh pra ahli sejarah yang merupakan suatu tim. Buku yang ditulis oleh tim dengan dipimpin F.W. Stapel ini berjudul Geschedenis van Nederlandsch Indie atau Sejarah Hindia Belanda. Pendekatan yang dilakukan oleh Stapel dalam menulis buku tersebut sangat diwarnai oleh penulisnya. Buku tersebut pada dasarnya tidak banyak menceritakan peranan bangsa Indonesia. Buku ini lebih tepatnya merupaka sejarah penjajahan orang Belanda di Indonesia. Pembahasan dari buku tersebut hanya menceritakan orang Belanda di Indonesia dengan memberikan aspek positif penjajah, sedangkan pribumi merupakan aspek pelengkap. Penulisan seperti inilah yang kemudian disebut dengan Nederlan sentris. Tokoh-tokoh dari Belanda disebut dengan pahlawan yang bermakna positif, dan orang pribumi diibaratkan memiliki watak yang jahat.
Contoh karya historiografi masa kolonial yang ditulis oleh ilmuwan Inggris dan Belanda yang terpopuler adalah History of Java oleh Raffles, Karya B.H.M Vleke dengan judul Geschiedenis van den Indischen Archipel (sejarah Nusantara), Karya H.J de Graaf dengan judul Geschiedenis van Indonesia (Sejarah Indonesia), karya Snouck Hurgronje de Atcherhers (Orang-orang Aceh), dan karya G. Gonggrip dengan judul Schetsener Aconomische Geschiedenis van Nederlands-Indie (sejarah Ekonomi Hindia Belanda).
Sifat cerita sejarah Indonesia yang dilukiskan oleh penulis Belanda D.F.W Stapel bisa dilihat dari jumlah halaman buku pegangan sejarah Hindia Belanda dengan komposisi sebagai berikut : Zaman Purbakala dan Hindia Belanda ditulis 25 halaman; Penyiaran Islam dan Bangsa Portugis di Indonesia 8 halaman; VOC (kongsi dagang Belanda) sejumlah 152 halaman; Pemerintahan Belanda berjumlah 150 halaman. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa cerita sejarah Indonesia yang ditulis sebelum tahun 1942 pada dasarnya bukanlah sejarah Indonesia, melainkan sejarah Belanda di Indonesia. Dalam historiografi kolonial, tokoh-tokoh seperti Imam Bonjol, Diponegoro, Sultan Agung, Soekarno, Muh. Hatta, Wahidin, Bung Tomo, dan tokoh pejuang lainnya dipandang sebagai pengkhianat dan tokoh pemberontak. 
Historiografi Islam pada masa kolonial sebetulnya tidak terbatas pada sejarawan kolonial saja, akan tetapi tokoh sejarawan yang dianggap menuliskan sejarah umat Islam atau Sejarah Islam pada konteks waktu terjadinya kolonialisasi dapat dianggap sebagai kajian kritis terhadap historiografi Islam masa kolonial, tentunya dengan menggunakan sumber-sumber sejarah kolonial dalam topik keislaman.

VIII. HISTORIOGRAFI ISLAM DI INDONESIA PERIODE SETELAH KOLONIAL
Sebagai antithesis terhadap historiografi kolonial, muncullah historiografi baru yang lebih ke arah Indonesiasentris. Historiografi ini dipenuhi dengan semangat keterlepasannya penjajahan dalam penulisan sejarah. Kesadaran tentang pentingnya penulisan sejarah yang Indonesiasentris muncul sejak awal kemerdekaan. Hal ini dirasa perlu karena berfungsi sebagai ilmu pengetahuan dan bagi pengajaran di dalam dunia pendidikan khususnya sekolah.
Penulisan sejarah yang bersifat Indonesiasentris yang muncul dalam bentuk historiografi nasional harus memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam”, yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pemeran utama
2. Penjelasan sejarah Indonesia diuraikan secara luas, dengan uraian yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya
3. Berhubungan erat dengan kedua pokok diatas, maka perlu adanya pengungkapan aktivitas dari berbagai golongan masyarakatm tidak hanya para bangsawan atau ksatria, akan tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongan lain
4. Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintesis, maka yang menggambarkan proses perkembangan ke arah kesatuan geopolitik seperti yang saat ini dihadapi, prinsip integrasi diperlukan dan digunakan sebagai alat ukur seberapa jauh integrasi tersebut dalam masa tertentu yang telah dicapai.
Awal perkembangan Historiografi Islam di Indonesia dapat dilacak pada seminar sejarah  masuknya Islam ke Indonesia yang diselelnggarakan di Medan tahun 1963. Diadakannya seminar tersebut adalah adanya hasrat untuk kebutuhan buku-buku sejarah Islam di Indonesia. Buku atau sumber yang selama ini dijadikan sebagai bahan pengetahuan adalah buku yang masih belum jelas isi kandungan dan cara mendapatkan sumber atau metodologinya. Seminar tersebut pada akhirnya mengambil kesimpulan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad I Hijriah atau abad 7 Masehi langsung dari Arab yang dibawa oleh pendakwah Islam yang berperan sebagai pedagang; daerah pertama yang didatangi adalah pesisir Sumatera. Setelah terbentuk masyarakat Islam, maka raja muslim yang pertama berada di Aceh; dalam proses pengIslaman selanjutnya, orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian dan penyiaran Islam dengan cara damai; Islam membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia. Selanjutnya, pembahasan mengenai penulisan sejarah Islam di Indonesia kemudian dibahas dalam forum-forum khusus mengenai penulisan sejarah Islam oleh berbagai kalangan, seperti akademisi, tokoh agama, lembaga pendidikan Islam, unsur pemerintahan dan lain sebagainya. Permasalahan yang kerap kali menjadi unsur yang perlu diperhatikan adalah permasalahan metodologi, objektivitas dan subjektivitas sejarah, sumber sejarah Islam yang terbatas, unsur pengaruh Barat yang kerap menjadi keengganan dalam hal kredibilitas sejarah, serta kondisi sosial-politik orde Lama dan orde Baru yang cenderung belum memikirkan hal tersebut sehingga memperlambat kinerja pemikiran mengenai historiografi Islam di Indonesia. 
Histoiografi Islam Pasca Kolonial di Indonesia sebetulnya terdiri dari sumber historiografi tradisonal yang masih menggunakan sisi kesusastraan dan sumber-sumber konvensional seperti hikayat, syair, cerita rakyat, folklore, dokumen-dokumen. Menurut Hamka, dengan bukunya yang berjudul Sejarah Umat Islam di Indonesia merupakan salah satu bukti kontribusinya melalui penulisan sejarah Islam. Walaupun secara metodologis dan induk ilmu yang dipelajari bukan dari sejarah Islan murni, Hamka memiliki maksud agar munculnya karya dari Muslim Indonesia yang mampu menulis sejarah bangsa nya sendiri. Selain Hamka, terdapat tokoh dari Aceh yang bernama A. Hasyim yang menulis sejarah umat Islam di Indonesia. Keduanya merupakan sejarah informal yang secara murni tidak belajar mengenai ilmu sejarah, melainkan memiliki kontribusi dalam kepenulisan dibidang sejarah Islam Indonesia. Hamka dan A. Hasyim memiliki karakteristik penulisan dengan menempatkan umat Islam Indonesia sebagai bagian dari Umat Islam Keseluruhan. Selain itu, kedua tokoh ini juga mempunyai anggapan dan teori yang dirasa penting tentang datangnya Islam ke Indonesia merupakan sebab dari orang Arab ke wilayah Sumatra. Selain itu, terdapat sejarawan dari luar negeri yang melakukan riset sejarah Islam di Indonesia seperti Karel Steenbrink, de Graaf, Ricklefs, Martin van Brussen dengan menggunakan metodologi yang lebih modern.


IX. HISTORIOGRAFI ISLAM DI INDONESIA PERIODE KONTEMPORER
Penulisan sejarah atau sejarah penulisan sejarah Islam di Indonesia era kontemporer merupakan pembahasan yang menarik untuk dikaji. Dalam hal pembabagan sejarah historiografi, kontemporer dapat dikatakan sebagai waktu yang meliputi aspek lebih lengkap dalam hal metodologis, periodisasi, serta ruang lingkup pembahasan sejarah Islam. Era kontemporer juga disebut dengan fenomena penulisan era masa kini terhadap peristiwa sejarah dalam konteks studi keislaman. Topic-topik studi keislaman di era kontemporer ini memiliki banyak ragam, mulai dari ideologi, jihad, teologi Islam, hukum Islam, gerakan sosial Islam, radikalisme, ekonomi, pendidikan, bahasa, sastra, politik, komunikasi, manajemen organisasi dan bidang keilmuan lainnya. Cara membaca peristiwa sejarah yang berhubungan dengan Islam di era kontemporer ialah dnegan mengenakan metodologi yang diterapkan oleh mazhab Annals mengenai aliran total history atau sejarah total, dengan menggunakan aspek pendekatan sosial.
Menurut Azyumardi Azra, dalam kurun beberapa waktu terakhir, historiografi Islam di Indonesia harus dilihat dari berbagai perspektif yang lebih luas, melihat sejarah islam Indonesia dan umatnya sangat erat berkaitan dengan corak historisitas kawasan lain dalam Islam.
Tipe sejarawan menurut era kontemporer terdiri dari tiga mcam yakni: sejarawan professional yang berasal dari latar belakang displin keilmuan ilmu sejarah; sejarawan dari disiplin ilmu diluar sejarah yang menaruh perhatian terhadap kajian sejarah; sejarawan informal atau amatir yang berasal dari masyarakat umum dan tidak mempunyai latar belakang keilmuan sejarah namun memiliki produktivitas kepenulisan sejarah.
Tokoh sejarawan Islam kontemporer di Indonesia memiliki ragam corak, seperti keterangan diatas, bahwa terdapat macam latar belakang sejarawan ataupun dari unsur non sejarah. Misalnya adalah Ahmad Mansur Suryanegara dengan menuliskan karya Api sejarah : Perjuangan Ulama’ dan Santri terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menggunakan pendekatan multidisipliner; Azyumardi Azra dengan karyanya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17-18; Agus Sunyoto dengan karya Atlas Walisongo; Taufik Abdullah dengan karya Sejarah Lokal di Indonesia; Kuntowijoyo dengan karya Periodesasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Di Indonesia: Mitos, Ideologi, Ilmu, dan masih banyak lagi sejarawan dari Indonesia.
Kebanyakan penulisan sejarah Islam pada periode kontemporer ini akhirnya ditekankan kepada metodologi penelitan sejarah Islam yang lebih menggunakan pendekatan interdipliner dan multidisipliner, artinya terdapat aspek yang lebih luas dengan adanya sumber-sumber sejarah yang perlu di kaji lebih lanjut. Metodologi sejarah umum dan Islam tentu berbeda, akan tetapi terdapat penambahan elemen ilmu Keislaman yang menjadi aspek penting. Islam di Indonesia dalam fenomenanya memang memiliki kontribusi dalam tiap fase kehidupan di tanah air, sehingga perspektif akan studi keIslaman dalam sejarah dapat dikaji lebih dalam melalui metodologi yang detail. Adanya mazhab Annales sepertinya juga berpengaruh dalam penulisan sejarah di era kontemporer ini, akan tetapi hal ini juga relevan untuk dilakuka, mengingat peran dari Islam atau umat Islam mempunyai posisi yang penting di dalam dinamikanya. Sehingga, historiografi Islam di Indonesia perlu digalakkan untuk memenuhi khazanah keislaman yang lebih komprehensif. Alhasil studi sejarah Islam menjadi faktor penting dalam mewarnai pengetahuan keberlangsungan umat Islam, Negara, dan masa depan bangsa.







DAFTAR PUSTAKA
Burke, Peter. 1990. The French Historical Revolution the Annales School 1929-1989. (diterjemahkan oleh Djoko Marihandoro: Revolusi Sejarah Perancis Mahzab Annales 1929-1989. Bogor: Penerbit Akademia.
Gumilar, Setia. 2017. Historiografi Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia.
Hakim, Lukmanul. 2018. Historiografi Modern Indonesia; Dari Sejarah Lama Menuju Sejarah Baru. Padang: Jurnal Khazanah: Sejarah dan Kebudayaan Islam Volume VIII Nomor 16 UIN Imam Bonjol.
Iryana, Wahyu. 2017. Historiografi Islam di Indonesia. Bandung: Jurnal al-Tsaqafa Volume 14, Nomor 01.
Priyadi, Sugeng. 2019. Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Rahim, Abdul. 2010. Sejarah Perkembangan Orientalisme. Palu: Jurnal Hunafa Volume 7 Nomor 2 STAIN Datokrama.
Steenbrink, A. Karel. 1984.  Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang
Steenbrink, A. Karel. 2017. Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942).Yogyakarta: Gading Publishing.
Taher, Tarmizi,dkk. 1996. Changing the Image of Islam and Muslim World Indonesian Exercises. Jakarta: Indonesian Jurnal for Islamic Studies Vol 3 No 2.
Wahyudhi, Johan. 2013. Membincang Historiografi Islam Abad Pertengahan. Jakarta: Junal Al-Turas UIN Jakarta Volume XIX Nomor 1.
Yatim, Badri. 1997. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Previous Post
Next Post

Silahkan menulis di blog ini semau anda, yang penting punya hasrat untuk menulis

0 komentar: