Awal mula saya mengetahui buku ini, berasal dari kawan lama di kampung, dia menjadi salah satu wisudawan dari kampus ternama di Indonesia yang berada di Kota Semarang. Katanya buku ini menjadi salah satu buku terbaik yang membahas tentang peristiwa G30S/PKI.
Namun, sebagai pembaca yang baik tentunya saya tidak langsung mempercayainya, sebelum saya membaca buku tersebut. Baru pada tahun ini saya, mempunyai buku tersebut, saya membeli via online, ya entah bagaimana insting seorang pembeli adalah mencari harga murah dan kualitas terbaik hehehe.
Saya juga pertama kalinya membeli buku lewat aplikasi toko online, setelah saya pesan, dua hari kemudian paket itu datang. Betapa kagetnya saya, ternyata saya membeli buku bajakan. Yaudah lah mau gimana lagi, setelah itu saya curhat atau bahasa jawanya “maido” sama kakak saya, akhirnya dia memberitahu tentang bagaimana cara membeli barang dari toko online. Lumayan lega dehh...
Lanjut ke Palu Arit Di ladang Tebu....
Pertama, saya ingat-ingat betul bagaimana cover dari buku ini milik teman saya..... Ternyata beda, mungkin apakah beda percetakan atau revisi saya belum pastikan, namun dari segi isinya saya masih ingat beberapa poin yang dijelaskan di buku milik teman saya dan buku yang saya beli.
Saya mulai membaca dari bagian pengantar dari penulis, wah gila perasaan bersalah saya semakin memuncak ketika membaca kegigihan penullis ketika menulis buku ini, bagaimana tidak? Penulis mencari sumber-sumber dan fakta sejarah yang diibaratkan mencari jarum ditumpukan jerami dan dijaga ketat oleh anjing penjaga. Untuk penulis saya mohon maaf untuk tindakan saya heuheu...
Dari sekian judul buku yang pernah saya baca, terkait sejarah G30S/PKI, baru buku ini yang saya rasa unsur objektivitasannya hampir sempurna. Dari sumber-sumber yang ada dibuku ini juga berasal dari sumber-sumber terpercaya, pengalaman saya membaca buku yang bertema GESTAPU dan GESTOK barulah buku ini yang jauh dari narasi-narasi tentang konspirasi. Akan tetapi pada BAB II penulis menjelaskan beberapa teori tentang siapa dalang dari peristiwa GESTAPU.
Walaupun studi penulis tidak sampai mengeklaim tentang siapa dalang dari peristiwa GESTAPU.
Mindset yang terbangun dari seorang sejarawan murni, bukanlah menjadi seseorang yang menghakimi, namun mereka hanya menyajikan beberapa peristiwa sejarah dengan objektif dan faktual.
Walaupun tahap interpretasi memang menggunakan unsur subjektifitas, namun penulis harus tetap berhati-hati dalam kajian atau studi sejarah yang akan ia sampaikan, seperti kegiatan mengkritik setajam-tajamnya sumber yang ia dapat, dari hal tersebut subjektifitas akan berkurang dengan sendirinya.
Hal tersebutlah yang saya temukan dalam buku ini, mengapa penulis tidak mengeklaim secara langsung siapa dalang dari GESTAPU? karena kurangnya sumber tertulis yang ia temukan. Beberapa buku, entah itu milik penulis dari luar negeri atau dalam negeri, banyak yang masih tercium subjektifitasnya. Peneliti sejarah dari dalam negeri, dimana mereka secara politis masih berafiliasi terhadap PKI, penyajian mereka menjadi sangat subjektif, karena jarang sekali menjelaskan secara objektif tentang lawan politiknya. Dari pihak pemerintah-pun juga sama, apalagi sejarah-sejarah GESTAPU dan GESTOK yang ditulis pada masa pemerintahan Soeharto, ditambah sejarawan yang berafiliasi politik terhadap rezim kala itu. Semakin kental pula subjektifitas yang ada.
Buku ini, sebenarnya mengangkat tema lokal yaitu di daerah Jombang dan Kediri, dimana imbas perpolitikan nasional kala itu yang dimulai dari 1960-1966. Sesuai judulnya, Palu Arit di Ladang Tebu, menceritakan bagaimana konfrontasi yang terjadi antara partai politik terutama, PKI, NU, PNI, Masyumi dan PSI, walupun kedua partai yang terakhir sudah dilarang oleh Soekarno, namun beberapa anggota dan kadernya masih ada yang menjabat dipemerintahan diberbagai daerah seperti contoh Kediri dan Jombang. Awal mula kofrontasi dimulai pada BAB III yaitu persaingan dikarenakan adanya persaingan pengaruh dalam pabrik gula dan ladang tebu, dimana para serikat buruh dan tani yang berafiliasi terhadap BTI dan Sarmusi serta kalangan pesantren di Kediri dan Jombang serta beberapa yang lainnya, berebut kekuasaan atas ladang tebu dan pabrik gula. Tidak hanya itu, pertikaian yang ada yaitu secara horizontal maupun vertikal menjadi hal yang mudah terjadi kala itu. Hal ini terjadi pada kisaran tahun 1962-1963 sampai meletusnya GESTAPU 1965.
Untuk memahami isi buku ini, tentu saja belilah bukunya yang tentu harus orisinil dan jangan lupa seruput kopinya ya ndesss....
Kritik dan saran bisa Komen di blog, Instagram, FB, tweet atau WA atau langsung ketemu sembari ngopi ya ndess....
Selamat membaca
@nulisondes
@syahril_muadz
0 komentar: